Assalaamu'alaikum

Selamat datang di website Drs. H. Sulaiman Wahab, MA. Pemilik lahir di Ambon, pada 6 September 1960. Dosen tetap Universitas Widyagama Malang ini juga aktif sebagai Muballigh di Malang Raya. Website ini dikelola sebagai situs keilmuan dan dakwah yang inovatif bagi perkembangan Islam dan Ilmu Pengetahuan.


MEMBANTU KAUM DUAFA, MENGHIDUPKAN SUNNAH HASANAH

Jika kita membaca surat ke-107 dari al-Qur’an yakni al-Maa’uun, akan didapai satu pertanyaan Allah yang harus menjadi renungan bagi setiap kaum muslimin. Dalam surat tersebut Allah SWT memulai firman-Nya dengan ayat “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”. Kemudian pada ayat selanjutnya diterangkan mengenai siapa saja yang disebut sebagai pendusta agama. Yaitu, mereka yang tidak pernah emmperhatikan nasib saudaranya yang miskin dan suka menghardik anak-anak yatim. Jika dicermati, sungguh ini merupakan teguran Allah SWT kepada kita umat Islam. Ayat itu sekaligus juga mengajak kita untuk merealisasikan (mengamalkan) suatu perbuatan yang dapat menjauhkan diri dari predikat “pendusta agama”

Betapa banyak umat Islam yang disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ibadah khusus, seperti shalat, puasa, haji dan lainnya). Tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya, yang dengan kekkusyukan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi. Atau betapa mudahnya jutaan, bahkan milyaran dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak tidak dapat melanjutkan sekolah, ribuan orang tua masih terus menanggung beban mecari sesuap nasi, ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut, karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Melihat hal ini, apakah kita tega membiarkan ribuan umat Islam terpaksa menjual keyakinannya kepada tangan-tangan kaum lain yang “penuh kasih?” Padahal sebagaimana telah dilukiskan Rasulullah saw:

Perumpamaan kaum mukminin dalam hal jalinan kasih sayang, kecintaan dan kesetiakawanan, sama seperti satu tubuh, yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit, maka seluruh anggota lainnya menunjukkan simpatinya dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kesetiakawanan dan cinta kasih inilah yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan pada sahabatnya. Teladan yang dicontohkan Rasulullah ini pernah dikisahkan salah seorang sahabat:

Suatu hari, kami berkumpul bersama Nabi SAW, menjelang siang hari. Tiba-tiba datanglah rombongan orang berpakaian hampir telanjang dan compang-camping, sambil bertelekan pada pedang mereka. Mereka seluruhnya berasal dari kelompok Bani Mudhar. Tiba-tiba wajah Nabi berubah melihat penderitaan mereka. Beliau masuk (ke hujrahnya) kemudian keluar dan menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan. Setelah selesai mengerjakan shalat, Rasulullah kemudian berkhutbah. Beliau diantaranya membacakan al-Qur’an surat an-Nisaa (4) ayat 1 dan surat al-Hasyr (59) ayat 18”.

SHALAT, MI'RAJNYA ORANG BERIMAN

Mahluk-mahluk metafisika sajalah yang mampu bergerak sama atau lebih cepat dari cahaya. Apakah pernyataan ini benar? Hal ini hanya dapat dijawab dengan tuntunan yang Maha Benar, yaitu Allah dan Rasul-Nya. Akal dan fikiran manusia sudah berhenti sampai batas ini.

Marilah kita lihat Firman-firman Allah dan Hadits-hadits Rasulullah sehubungan dengan Peristiwa Akbar perjalanan ISRA & MI'RAJ Rasulullah SAW, dimana beliau didampingi oleh Malaikat Jibril A.S melaksanakan perjalanan tersebut.

Untuk dapat melihat betapa besar kecepatan gerak Malaikat Jibril, marilah kita lihat surat Al Ma'arij ayat 4 :

Malaikat-malaikat dan Ruh naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Q.S Al Ma'aaru:4)

1 hari malaikat dan ruh = 50.000 tahun manusia bumi
1 hari = 2 phi R , R = jarak bumi matahari = 144 juta KM
1 hari = 904.320.000 x 50.000
Vm = 1744.4 C (1.750 kali kecepatan cahaya)

Jadi Al Quran secara tegas menjawab pernyataan dan pertanyaan di atas.

Dalam kisah suci perjalanan Isra Miraj tersebut sesampainya di pos perjalanan Sidratul Muntaha, Malaikat Jibril tidak sanggup lagi mendampingi Rasulullah untuk terus naik menghadap kehadirat Allah SWT; beliau berkata :

Aku sama sekali tidak mampu mendekati Allah, perlu 60.000 tahun lagi aku harus terbang. Itulah jarak antara aku dan Allah yang dapat aku capai. Jika aku terus juga ke atas, aku pasti hancur luluh.

Maha Suci Allah, ternyata Malaikat Mulia Jibril AS pun tidak sampai kepada Allah SWT.

Kalau kita terjemahkan jarak terdekat Malaikat Jibril terhadap Allah tersebut (S) :

S = 60.000 x 1.750 tahun cahaya

= 105.000.000 tahun cahaya

Hal ini berarti bahwa hanya faktor ~ (tak terhingga) saja yang bisa mencapai Allah (WASILAH).

Rasulullah pernah bersabda :

Shalat itu adalah mi'rajnya orang-orang beriman.

Ini berarti bahwa di dalam shalat kita harus mampu berhubungan dan mencapai Allah SWT. Kalau tidak, sia-sialah shalat kita, shalat yang sia-sia (lalai) ini bahkan diancam Allah dengan neraka Wail.

Allah beriman dalam Q.S Al Ma'un : 4-5 :

Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya.


Karena itu salah satu tugas utama kita adalah menemukan unsur ~ dalam shalat kita; disiplin ilmu yang mempelajari ini hanya ada dalam TEKNOLOGI/TASAWUF ISLAM. Dalam hal ini kita wajib mencari MURSYID yang dapat memberi petunjuk.

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa yang di sesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapat seorang pemimpinpun (Wali) yang dapat memberi petunjuk (Mursyid) kepadanya. (Q.S Al Kahfi:17).

Komentar Pengunjung