HIKMAH ZAKAT

Oleh: Drs. H. Sulaiman Wahab, M.Ag.*)

Zakat secara harfiah berarti yang mensucikan dan yang menumpuk. Patut dipahami bahwa semua sumber asli kekayaan, mulai dari matahari, bulan, bintang, bumi, awan pembawa hujan, angin yang menggerakkan awan, dan serbuk adalah fenomena alam yang merupakan karunia Allah kepada seluruh manusia. Kekayaan yang dihasilkan dari penggunaan keahlian dan kerja manusia pada sumberdaya telah disediakan Allah sebagai sumber kehidupan dan kesenangannya. Dan manusia berhak atasnya, sepanjang berada di dalam koridor syari’at Islam. Oleh karena itu, ada tiga pihak yang berhak atasnya yaitu: pekerja yang terdidik maupun yang tidak terdidik, pemilik modal, dan masyarakat yang mewakili umat manusia. Bagian masyarakat dalam kekayaan yang dihasilkan disebut Zakat. Sesudah kekayaan ini disisihkan untuk kesejahteraan masyarakat, sisanya yang telah disucikan boleh dibagikan kepada sisa kelompok yang punya hak atasnya.

Zakat adalah salah satu dari rukun Islam yang kelima. Antara hikmah dan tujuan Allah SWT mensyariatkan zakat ialah: membagikan sebahagian kecil kekayaan daripada golongan yang berada kepada golongan yang kurang berada, membersihkan diri pembayar zakat, membersihkan dan menyuburkan harta pembayar zakat, mewujudkan sifat bersyukur terhadap nikmat yang dikurniakan oleh Allah SWT di kalangan golongan yang berada, mengurangkan perasaan irihati di kalangan yang kurang bernasib baik, mewujudkan perhubungan antara hamba dengan Allah di samping perhubungan antara manusia dengan manusia, memberi peluang kepada golongan hartawan untuk beribadat dalam bentuk mengeluarkan zakat daripada harta mereka, mewujudkan kesatuan di kalangan masyarakat Islam dalam urusan ekonomi dan kewangan, memberi masyarakat satu cara mengurus ekonomi dan kewangan yang diredhai oleh Allah SWT, melahirkan rasa tenang dan tenteram dalam hati dan jiwa pembayar zakat.

Sebagai perkara wajib zakat senantiasa dipertautkan dengan shalat. Dalam al-Qur’an, setidaknya ada dua puluh ayat yang mempertautkan keduanya. Diantara ayat al-Qur’an tersebut adalah sebagaimana termaktub dalam Surah al-Baqarah ayat 110:

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 110)

Juga dalam Surah an-Nuur ayat 56:

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (Q.S. an-Nuur [24}: 56)

Dengan tegas al-Qur’an menyatakan bahwa menegakkan shalat dan membayar zakat secara teratur adalah jalan utama menuju persaudaraan Islam. Kedua tindakan itu secara fundamental sama pentingnya. Sebab, zakat akan kehilangan maknanya bila tidak timbul dari hati yang taqwa dan perasaan bersih tanpa mementingkan diri sendiri. Shalat tidak berarti jika tidak menyebabkan perasaan dan sikap yang tulus untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang murni. Inilah pengaruh timbal balik yang dinamis antara dua lembaga spiritual dan duniawi dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, patut diingat bahwa zakat dan shalat tidak boleh dibeda-bedakan. Hal ini pernah ditegaskan oleh Khalifah Abu Bakar r.a. ketika menyampaikan khotbah tentang kewajiban zakat dan pertautannya dengan shalat. Bahkan Abu Bakar r.a. mengatakan: “Demi Allah, saya akan berperang melawan mereka yang membedakan antara shalat dan zakat.”

Kata zakat tidak mempunyai konotasi jahat seperti semua pajak sekuler dewasa ini. Sebab zakat mengandung makna religio-ekonomik, sedangkan pajak sekuler didasarkan hanya pada prinsip materialis yang tidak memiliki muatan keimanan, terutama yang dimaksudkan untuk menggapai keridhaan Allah SWT. Dengan kata lain secara fundamental, zakat adalah perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah, dan kepada Allah-lah ia dipertanggungjawabkan. Hal ini tidak akan dijumpai dalam asal-usul pajak sekuler yang notabene diperkenalkan oleh ekonom Barat pada zaman merkantilisme di abad ke-15 sesaat setelah renaissance (pendobrakan dogma gereja) oleh para ilmuwan dan reformer Kristen yang trauma pada kekangan institusi Kepausan.

Bila dibandingkan dengan pajak sekuler, zakat memiliki keuntungan tertentu. Setidaknya ada tiga hal, yaitu: Pertama, zakat diyakini sebagai penyerahan diri dengan sukarela kepada kehendak Allah, sehingga kaum Muslimin yang menunaikannya sangat kecil kemungkinannya untuk melakukan praktek curang dengan memberikan keterangan palsu sebagaimana yang sering terjadi dalam pajak sekuler. Kedua, sumber utama zakat yang merupakan kekayaan tertimbun dan tidak digunakan, dipakai untuk tujuan mulia. Akhirnya, tujuan dan pokok pengeluarannya diterangkan secara langsung dalam al-Qur’an. Jadi pemerintah tidak diperkenankan membelanjakan uang yang dipungutnya sesuka hatinya. Salah satu distribusi zakat adalah untuk program jaminan sosial. Patut dicatat bahwa hingga saat ini pajak sekuler belum mampu melaksanakan program jaminan sosial dengan baik.

Program jaminan sosial sangat erat kaitannya dengan persoalan kemiskinan. Oleh karena itu dalam Surah at-Taubah ayat 60, enam golongan dari delapan golonganutama penerima zakat adalah mereka yang diliputi problem ekonomi, yaitu: kaum fakir, kaum miskin, mu’allaf, membantu orang yang berhutang, membebaskan para budak, membantu musafir yang dalam kesulitan.


Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. at-Taubah [9]: 60)


Demikianlah konsep zakat dalam upayanya mewujudkan tatanan masyarakat yang berkesejahteraan secara lahir dan batin.

Masyarakat sejahtera dalam Islam bukan hanya dilihat dari satu segi, misalnya segi ekonomi saja. Tetapi Islam memandang kesejahteraan dalam arti yang lebih utuh dan sangat luas. Adalah benar salah satu penunjang kesejahteraan adalah faktor ekonomi, dan Islam mengakui hal tersebut, oleh karena itu pos pengeluaran zakat diutamakan untuk pengentasan kemiskinan. Namun setelah terpenuhinya kesejahteraan dalam arti ekonomi, Islam menghendaki umat ini mendapatkan ketenangan dan kesucian jiwa. Secara spiritual, umat yang telah mengeluarkan zakat dengan tulus ikhlas hanya mengharap ridha Allah, maka mustahil pada diri mereka untuk dihinggapi perasaan rugi atau menyesal dan sebagainya. Melainkan hidup dalam jiwa dan hati mereka perasaan tenang, bahagia dan merdeka. Inilah kesejahteraan yang tidak dapat dinilai secara ekonomis. Hati yang bersih, buah karya sikap ikhlas sangat mahal dan jauh lebih menentukan ketenteraman dan keharmonisan hidup. Tidak ada lagi sifat-sifat dan nafsu-nafsu syaithaniyah yang boleh jadi tampak menggiurkan tetapi sebenarnya menyesatkan. Sebut saja sifat kikir dan bakhil dalam mengeluarkan zakat atas dasar untung-rugi secara ekonomis, jelas akan menimbulkan beragam penyakit hati yang berkepanjangan.

Begitu luar biasanya peran zakat dalam menenteramkan jiwa manusia, hingga Allah sendiri yang menjamin hal ini, sebagaimana termaktub dalam Surah at-Taubah ayat 103:


Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkandan mensucikanmereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. at-Taubah [9]; 103)

Juga dalam Surah al-Baqarah ayat 277:


Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 277)

Sebagaimana telah kami sampaikan, bahwasannya zakat adalah suatu ibadah yang diharuskan oleh Allah. Ibadah ini memiliki muatan-muatan spiritual dan ekonomi yang antara keduanya saling berhubungan. Islam menghendaki umatnya mendapat harta dengan jalan yang halal dan membelanjakannya juga untuk yang halal. Oleh karena itu, Islam secara tegas membedakan mana yang haram dan mana yang halal, sebagaimana Islam telah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli.

Sebagai makhluk yang tidak lepas dari khilaf, manusia berpotensi untuk tidak jeli melihat sisi halal, haram dan syubhat, juga antara yang haq dengan yang bathil. Untuk mensucikan harta dan perolehan yang boleh jadi mengandung muatan-muatan tersebut, maka Allah memerintahkan kita untuk menunaikan zakat. Ada satu hikmah penting dalam hal ini, bahwasannya Islam ingin mengajarkan kepada kita agar menjauhi sifat sombong. Yang paling tampak, adalah perasaan sombong dan yakin bahwa diri kita ini suci dan bersih dari dosa hanya karena yakin bahwa harta kita pasti bersih. Padahal bersih tidaknya harta tersebut, hanya Allah yang Maha Tahu.

Di samping itu, karena konsep kekayaan yang dimiliki manusia menurut Islam menyatakan bahwa di dalam harta yang dimiliki terdapat hak orang lain, dan suatu kezaliman manakala tidak memberikan hak tersebut kepada orang lain yang membutuhkan, maka patut bagi setiap kita untuk menyadari hal ini. Oleh karena itu mebersihkan harus dipahami sebagai upaya kita untuk mensucikan harta dari unsur-unsur syubhat apalagi haram dari segi perolehannya, maupun karena adanya hak-hak orang lain yang apabila tidak didistribusikan akan menyebabkan adanya unsur bathil dalam harta. Padahal bagian yang bathil adalah haram karena bukan hak kita. Allah SWT berfirman dalam Surah al-Lail ayat 18 tentang pentingnya mensucikan harta dari yang haram:

Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, (yaitu) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya”. (Q.S. al-Lail [92]: 17-18)

Jika shalat dimaksudkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, maka zakat yang dipertautkan dengan shalat memiliki hubungan yang strategis dalam hal ini. Sebagaimana telah disinggung dalam uraian awal, bahwasannya zakat hanya akan diridhai Allah jika dilakukan oleh orang yang memiliki rasa tulus dan ikhlas dengan komitmen iman yang kuat. Sifat demikian dapat terbentuk jika shalat senantiasa ditegakkan dengan benar. Hubungan inilah yang akan menjadi dasar kokohnya hubungan dengan Allah. Kekokohan hubungan ini akan tergambar dari keridhaan Allah pada setiap langkah kita dalam menjalani hidup dan kehidupan. Melalui kehidupan yang bahagia, jiwa yang tenang dan hati yang ikhlas, menunjukkan semakin kokohnya hubungan manusia dengan Allah.

Allah SWT berfirman dalam Surah ar-Ruum ayat 39:

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (Q.S. ar-Ruum [30]: 39)

Juga dalam Surah al-A’raaf: 156:
Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (Q.S. al-A’raaf [7]: 156)

Sebagai kata akhir ada baiknya kita tengok sejarah pemerintahan Islam yang menggambarkan urgensi zakat sebagai salah satu kunci menuju kesejahteraan hidup manusia. Sejak dibangunnya Madinah oleh Rasulullah SAW sebagai institusi kenegaraan yang disebut Khilafah hingga keruntuhannya pada tahun 1924, zakat merupakan poros dan pusat keuangan negara. Zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dan menyadarkan si kaya akan tanggungjawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang yang dapat menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi secara makro. Dengan kata lain, dalam konteks ini zakat merupakan sumbangan wajib kaum Muslimin untuk perbendaharaan negara, semata-mata mengharap ridha Allah. Keridhaan Allah atas umat yang menunaikan zakat akan membuahkan kesejahteraan sebagaimana yang dijanjikan-Nya.

*) Penulis adalah Kepala Pusat Pendidikan Agama (P3A) Univ. Widyagama Malang



HAKEKAT SHAUM

RAMADHAN secara etimologi berasal dari kata ramidha, yar-madhu, ramadhan yang artinya terik, sangat panas atau terbakar (pembakaran). Adapun menurut terminologi ramadhan dapat diartikan sebagai pembakaran, peleburan atau penghapusan atas segala macam dosa. Berdasarkan dari pengertian tersebut terkadang terjadi penyimpangan makna ramadhan pada sebagian umat muslim. Dimana ada sebagian umat muslim yang menyambut kedatangan bulan ini dengan cara menyulut petasan. Sehingga dengan tindakannya tersebut ironis bagi mereka dapat meraih harapan atau hikmah yang terdapat dalam bulan tersebut.

Pada dasarnya bulan ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah dan maghfirah (ampunan) sehingga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh bukhari menyatakan bahwa pada bulan ini Allah SWT akan membuka setiap pintu surga dan akan mem-belenggu syaithan. Maka dengan terbukanya pintu surga dan dibelenggunya syaithon dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan umat muslim. Selain itu ramadhan pun merupakan satu bulan yang Allah SWT telah mewajibkan puasa terhadap orang yang beriman. QS. Al-Baqarah 183

Hakekat shaum (puasa)

Shaum menurut bahasa yaitu alimsak (menahan diri), adapun pengertian menurut syari' yaitu menahan diri dengan niat dari seluruh yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan bersetubuh mulai dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari. (Anas ismail Abu Dzaud, 1996: 412) Namun, secara implisit dalam puasa terdapat dua nilai yang menjadi parameter antara sah atau rusaknya puasa seseorang.

Pertama, Nilai Formal yaitu yang berlaku dalam perspektif ini puasa hanya tinjau dari segi menahan lapar, haus dan birahi. Maka menurut nilai ini, seseorang telah dikatakan berpuasa apabila dia tidak makan, minum dan melakukan hubungan seksual mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Padahal Rasulullah SAW telah memberikan warning terhadap umat muslim melalui sebuah haditnya yang berbunyi :

"Banyak orang yang puasa mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus saja". H.R. bukhari.

Dari hadits tersebut kita dapat mengetahui bahwa hakekat atau esensi puasa tidak hanya menahan rasa lapar, haus dan gairah birahi saja, melainkan dalam puasa terkandung berbagai aturan, makna dan faedah yang mesti diikuti.

Kedua, Nilai Fungsional yaitu yang menjadi parameter sah atau rusaknya puasa seseorang ditinjau dari segi fungsinya. Adapun fungsinya yaitu untuk menjadikan manusia bertakwa (laa'lakum tattaqun). QS. Al-Baqarah 183

Kemudian menurut nilai ini, puasa seseorang sah dan tidak rusak apabila orang tesebut dapat mencapai kualitas ketakwaan terhadap Allah SWT.

Maka dari itu, hakekat puasa dalam pandangan Rasyid Ridha adalah sebagaimana berikut ini:

1. Tarbiyat aliradat (pendidikan keinginan)

Keinginan atau kemauan merupakan fitrah manusia. Tapi acapkali kemauan atau keinginan yang dimiliki manusia tidak selamanya baik dan tidak pula selamanya buruk. Karena itu puasa dapat mendidik atau membimbing kemauan manusia baik yang positif maupun yang negatif. Dengan puasa, kemauan positif akan terus termotifasi untuk labih berkembang dan meningkat. Adapun kemauan negatif, puasa akan membimbing dan mengarahkan agar kemauan tersebut tidak terlaksana.

Adapun yang menyebabkan kamauan seseoarang ada yang positif dan yang negatif, sesuai yang diungkapkan oleh Imam Al-Gazali bahwa di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat sebagaimana berikut ini:

a. Sifat Rububiyah, yaitu sifat yang mendorong untuk selalu berbuat baik.

b. Sifat Syaithoniyah, inilah sifat yang mendorong seseorang untuk berbuat kesalahan dan kejahatan.

c. Sifat Bahimiyah (kehewanan), sesuai dengan istilah yang diberikan pada manusia sebagai mahluk biologis.

d. Sifat Subuiyah, yaitu sifat kejam dan kezaliman yang terdapat dalam diri manusia.

2. Thariqat almalaikat

Malaikat merupakan makhluk suci, yang selalu taat dan patuh terhadap segala perintah Allah. Begitupun orang yang puasa ketaatannya merupakan suatu bukti bahwa jiwanya tidak dikuasai oleh hawa nafsunya. Juga, orang puasa akan mengalami iklim kesucian laksana seorang bayi yang baru lahir, jiwanya terbebas dari setiap dosa dan kesalahan.

Inilah janji Allah yang akan diberikan untuk orang yang berpuasa dan melaksanakan setiap amalan ibadah pada bulan ramadhan.

3. Tarbiyat alilahiyyat (pendidikan ketuhanan)

Puasa merupakan sistem pendidikan Allah SWT dalam rangka mendidik atau membimbing manusia. Sistem pendidikan ini mengandung dua fungsi yaitu:

a. Sebagai sistem yang pasti untuk mendidik manusia supaya menjadi hamba tuhan yang taat dan patuh.

b. Sebagai suatu sistem yang dapat mendidik sifat rubbubiyyah (ketuhanan) manusia untuk dapat berbuat adil, sabar, pemaaf dan perbuatan baik lainnya.

4. Tazkiyat annafsi (penyucian jiwa)

Hakekat puasa yang keempat ini diungkapkan oleh Ibnu Qayim al Jauzi. Puasa dapat menjadi sarana untuk membersihkan berbagai sifat buruk yang terdapat dalam jiwa manusia. Adakalanya jiwa manusia akan kotor bahkan sampai berkarat terbungkus oleh noda dan sikap keburukan yang terdapat didalamnya. Maka wajar kalau puasa dapat menjadi penyuci jiwa.

Dengan demikian kesempatan hidup pada bulan ramadhan yang akan segera hadir, semoga dapat dijadikan momen untuk menigkatkan kualitas iman dan takwa serta untuk dapat menggapai maghfirah Allah SWT. Amiin.